Resensi Buku
Novel Srikandi Belajar Memanah
Identitas Buku
Judul : Srikandi Belajar Memanah
Penulis : Sunardi D.M.
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan 1 : 1978
Cetakan 2 : 2000
Jlh halaman : 208 halaman
Buku yang ditulis oleh Sunardi ini mengisahkan tentang sepenggal dari kisah mahabharata versi jawa, dimana di dalam kisah ini di tambahkan beberapa tokoh pendukung seperti para punakawan, semar, petruk, dan gareng. buku ini mengisahkan tentang siapa sesungguhnya Srikandi, sampai akhirnya dia menjadi seorang putri prajurit serta menjadi istri Arjuna.
Di dalam buku ini ada bagian yang saya suka, tentang bagaimana Sunardi sebagai penulis menghadirkan kelucuan dari para punakawan di dalam kisah ini :
Srikandi Belajar Memanah Lewat 4Shared
Novel Srikandi Belajar Memanah
Identitas Buku
Judul : Srikandi Belajar Memanah
Penulis : Sunardi D.M.
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan 1 : 1978
Cetakan 2 : 2000
Jlh halaman : 208 halaman
Buku yang ditulis oleh Sunardi ini mengisahkan tentang sepenggal dari kisah mahabharata versi jawa, dimana di dalam kisah ini di tambahkan beberapa tokoh pendukung seperti para punakawan, semar, petruk, dan gareng. buku ini mengisahkan tentang siapa sesungguhnya Srikandi, sampai akhirnya dia menjadi seorang putri prajurit serta menjadi istri Arjuna.
Di dalam buku ini ada bagian yang saya suka, tentang bagaimana Sunardi sebagai penulis menghadirkan kelucuan dari para punakawan di dalam kisah ini :
Kemarahan Arjuna Pindah ke Semar
Hati Arjuna menjadi sedemikian bingungnya sehingga ia tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia memindahkan kemarahannya kepada Ki Lurah Semar. Ditinggalkannya istrinya yang berada di kamar itu. Ia kembali ke taman mencari Semar.
Waktu itu Ki Lurah Semar sedang enak-enak makan dengan lahapnya jajan pasar, yaitu nasi lengkap dengan lauk pauk dengan penganannya lengkap. Ketika anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong meminta bagian tidak diberinya.
Ki Lurah Semar ternyata telah memborong makanan yang berada di warung dekat Taman Maduganda, dengan jaminan cincin yang diterimanya dari Dewi Rarasati.
Semar makan makanan tersebut di tengah-tengah pintu taman. Dinikmatinya benar-benar makanan yang dikunyahnya itu sedikit demi sedikit. Setiap habis mengunyah nasi sesuap ia berhenti sebentar sambil matanya mengamatamati buahbuahan yang ada, ialah kepundang, duku, semangka, kuweni, dan nangka.
Gareng, Petruk, dan Bagong merengek-rengek meminta bagian sambil merintih keluar air liur. Ratap Gareng, "Tidak akan habis oleh Rama sendiri makanan sebanyak itu."
Ki Lurah Semar menjawab mengejek, "Hee, kok enaknya sendiri saja meminta. Ini nasi bukan hasil meminta. Ini nasi aku membeli. Kamu mengganggu saja ada orang tua mau makan
Semar tidak mengetahui bahwa gusti nya Raden Arjuna sudah berdiri di belakangnya. Raden Arjuna yang sedang marah hebat itu tanpa berpikir panjang lagi menarik ke belakang tubuh Se mar yang sedang menikmati jajan pasar itu dengan keras, sehingga punakawan tua yang sangat setia itu jatuh telentang, nasi nya kecar-kacir, Arjuna yang sangat marah itu mengambil ranting kecil yang ada di situ dan mencambuki tubuh Ki Lurah Semar.
Gareng, Petruk, dan Bagong menertawakan kejadian ini. Ketiganya berebut jajan pasar yang ada. Kata Petruk, "Impianku semalam menjadi kenyataan. Aku bermimpi bertemu buaya yang sedang melahap kotoran manusia. Ternyata hari ini aku berjumpa jajan pasar lengkap dengan buah-buahan. Aku sekarang yang menjadi buayanya melahap kuwih kelepon yang santan gulanya manis seperti madu."
Semar yang menangis kena cambuk sempat melirik pada jajan pasar yang diperebutkan anak-anaknya. Katanya, "Makanlah nasinya, tetapi sisakan untukku kUwih-kuwihnya yang empuk dengan gula santan itu."
Bagong menjawab sambil mengunyah kuwih uteri yang terbuat dari pisang kepak rebus digulung dengan tepung berwarna hijau pupus dan jamban itu, "Alangkah manis dan wanginya kuwih uteri ini, cocok untuk gigiku yag mulai rewel dan tak kuat ini."
Semar menangis semakin keras sambil menuding, "Sisakan untukku sedikit, terutama nangkanya itu."
Gareng memotong, "Semua sudah masuk perut, bagaimana dapat mengeluarkannya. Apa perutku mau dibedah. Dan lagi di dunia ini mana ada orang menangis masih sempat mempunyai waktu melirik ke makanan."
Arjuna Menyadari Kesalahannya
Raden Arjuna yang mencambuk Semar dengan ranting itu tersenyum juga menyaksikan ulah punakawanpunakawannya. Katanya, ''Teruskan kamu Gareng, Petruk, dan Bagong memakan habis jajan pasar itu, biar kubunuh saja kakang Semar."
Ki Lurah Semar berteriak, "Apa dosa hamba kok mau dibunuh?" Raden Arjuna menjawab, "Kakang telah membeJondrongkan aku. Membuatku seribu malu menjadi satu malu. Kenapa Kakang melapor padaku bahwa Putri Cempala yang menunggu di tempat gelap di bawah pohon nagasari?
Setelah kupondong, kuemban, kuciumi, gara-gara percaya pada laporan Kakang, ternyata yang kupondong itu adalah istriku, ibunya Angkawijaya. Sekarang ia marah hebat sekali, minta dipulangkan ke Dwarawati. Anakku bayi Angkawijaya yang tidak bersalah dicubitinya."
Ki Lurah Semar yang sebenarnya sangat bijaksana dan mengetahui segalanya itu dapat mengerti mengapa gustinya menjadi marah sekali. Ia menjawab sambil menangis dengan nada membentak, "Hamba aku dosa hamba tersebut. Inilah celakanya menjadi orang tua yang rembes lara mata, pelupukmata melekat karena sakit mata, ditambah waktu itu keadaan gelap sekali. Wajar kalau hamba salah melihat rupa karena kurang teliti. Sebaliknya Paduka, kenapa seperti orang tua pula, ikut-ikut pangling, ikut-ikut salah melihat rupa pula, tidak mengetahui kalau itu bukan Putri Cempala. Ditambah lagi sudah dipondong, diemban, diciumi, kok tidak merasa kalau keliru. Dari rabaan saja mestinya kan sudah dapat diketahui kalau itu Gusti Wara Sumbadra, mana mungkin dapat salah."
Raden Arjuna tersenyum, dalam hati membenarkan pendapat Se mar. Ia tersenyum sambil berkata perlahan, "Engkau benar, Kakang. Akulah yang bersalah. Maafkan aku." Ki Lurah Semar bergulingan di tanah sambil meneruskan tangisnya, "Oh sial benar badanku hari ini. Melayani kakek kakek Paduka mulai Gusti Manumayasa, Ciusti Sakutrem, Gusti Sakri, Gusti Parikenan, Gusti Palarasa, Gusti Abyasa sampai rama Paduka Gusti Pandudewanata, semuanya mencintai hamba. Kali ini malah hamba dicambuki Paduka. Selama itu dicambuk dengan lidi pun hamba tidak pernah. Padahal hamba sudah berniat akan melayani keturunan Paduka seterusnya. Duh Gusti-Gusti hamba yang sudah tidak ada, keturunan Paduka yang sekarang ini, yang sejak kecil kumomong, kutimang-timang, tidur kukipasi, berjalan kupayungi, makan kusuapi, oo, sekarang pemarahnya bukan main, hamba dicambuki, oo, mohon ikut Paduka saja meninggalkan dunia yang fana ini."
Raden Arjuna hancur lagi hatinya. Katanya, "Sudahlah Kakang, jangan menangis, terimalah ini cincinku untukmu, harganya tak kurang dari seratus rupiah."
Ki Lurah Semar menerima cincin sambil masih menangis dan berkata, "Untuk berhenti menangis masih sulit selama jajan pasar itu belum dikembalikan kepada hamba."
Raden Arjuna memerintah, "Gareng, Petruk, Bagong, kembalikan semua kepada kakang Se mar, besok kuganti."
Ketiganya menjawab serentak, "Sudah habis, Raden".
Ki Lurah Semar berteriak, "Nangkanya masih sedikit disembunyikan Bagong."
Mata Bagong melotot sambil melemparkan sisa nangka sedikit yang masih disisipkan dalam baju ke ayahnya sambil menggerutu, "Gila betul Rama ini, mata sesipit dan serembes itu kok awasnya bukan main. Sisa nangka sedikit kusembunyikan masih kelihatan."
Ki Lurah Semar menari melenggak-Ienggok setelah berhasil menangkap sisa nangka yang dilemparkan padanya oleh Bagong dan mendapatkan tambahan sebuah cincin.
Raden Arjuna kemudian berkata, "Kakang Semar, bersiaplah segera mengikutiku menyusul gustimu Wara Srikandi. Sudah lama ia meninggalkan taman. Kasihan ia seorang putri berjalan sendirian. Aku khawatir ia mendapat halangan."
Para punakawan keempatnya menjawab "sendika" dan segera berangkat. Raden Arjuna yang singgah sebentar di kamar Balaikambang menemukan bahwa senjata pusakanya, Panah Dadali, tidak terlihat. Dalam batin ia telah menduga senjata tersebut dibawa oleh sang Putri. Ia kemudian mengambil senjata pusaka yang lain, Sarotama, kemudian segera keluar dari taman Maduganda, dengan diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Satria Madukara Raden Arjuna yang sangat sakti, gemar bertapa, dan menjadi kekasih dewa itu segera melakukan pemusatan pikiran, mengheningkan cipta dan mengucapkan aji-aji pagandan wruhing mar gi, ialah menggunakan ilmunya untuk mengetahui jalan mana yang ditempuh oleh Dewi Wara Srikandi.
Tempat Download
Jika temen-temen tertarik membaca novel ini. temen-temen juga bisa mendownload ebook nya yang beredar cukup luas di internet. Beberapa Link Download yang saya temui untuk mendownload Novel ini antara lain :
Srikandi Belajar Memanah LangsungSrikandi Belajar Memanah Lewat 4Shared